Sabtu, 15 Desember 2012

PERESEPAN OBAT

Peresepan obat pada lanjut usia (lansia) merupakan salah satu masalah yang penting, karena dengan bertambahnya usia akan menyebabkan perubahan-perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik.
Pemakaian obat yang banyak (polifarmasi), lebih sering terjadi efek samping, interaksi, toksisitas obat, dan penyakit iatrogenik, lebih sering terjadi peresepan obat yang tidak sesuai dengan diagnosis penyakit dan berlebihan, serta ketidakpatuhan menggunakan obat sesuai dengan aturan pemakaiannya (inadherence).
Dari data yang diperoleh, peresepan obat pada lansia berkisar sepertiga dari semua peresepan dan separuh dari obat yang dibeli tanpa resep digunakan oleh lansia. Secara keseluruhan, 80 % dari lansia setiap hari menggunakan paling sedikit satu jenis obat.
Dengan semakin meningkatnya jumlah lansia maka masalah peresepan obat pada lansia akan menjadi masalah yang sangat perlu diperhatikan atau perlu mendapat perhatian khusus.

Peresepan Obat Yang Rasional
Menurut World Health Organization (1985) bahwa yang termasuk dalam peresepkan obat yang rasional adalah jika penderita yang mendapat obat-obatan sesuai dengan diagnosis penyakitnya, dosis dan lama pemakaian obat yang sesuai dengan kebutuhan pasien, serta biaya yang serendah mungkin yang dikeluarkan pasien maupun masyarakat untuk memperoleh obat.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka di dalam meningkatkan mutu pengobatan terhadap pasien perlulah diperhatikan hal-hal yang dapat menimbulkan peresepan obat yang tidak rasional pada lansia.
Di bawah ini diuraikan beberapa bentuk peresepan obat yang tidak rasional pada lansia, yaitu :

1. Meresepkan obat dengan boros (extravagantly drug prescribing) : hal ini terjadi karena meresepkan obat yang mahal, sedangkan masih ada obat pilihan lain yang lebih murah dengan manfaat dan keamanan yang sama atau hampir sama. Termasuk juga disini berupa pemberian obat-obat yang hanya mengurangi gejala-gejala dan tanda-tanda tanpa memperhatikan penyebab penyakit yang lebih penting.
2. Meresepkan obat secara berlebihan (over drug prescribing) : hal ini terjadi jika dosis, lama pemberian, jumlah/jenis obat yang diresepkan melebihi dari yang diperlukan, termasuk juga disini meresepkan obat-obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk pengobatan penyakitnya.
3. Meresepkan obat yang salah (incorrect drug prescribing) : hal ini terjadi akibat menggunakan obat untuk hal-hal yang tidak merupakan indikasi, pemakaian obat tanpa memperhitungkan keadaan lain yang diderita pasien secara bersamaan.
4. Meresepkan obat lebih dari satu jenis (multiple drugs prescribing/polypharmacy): hal ini dapat terjadi pada pemberian dua jenis atau lebih kombinasi obat, sedangkan sebenarnya cukup hanya diperlukan satu jenis obat saja, termasuk pula disini berupa pemberian obat terhadap segala gejala dan tanda-tanda yang timbul, tanpa memberikan obat yang dapat mengatasi penyebab utamanya.
5. Meresepkan obat yang kurang (under drug prescribing) : hal ini dapat terjadi jika obat yang seharusnya diperlukan tidak diberikan, dosis obat yang diberikan tidak mencukupi maupun lama pemberian terlalu singkat dibandingkan dengan yang sebenarnya diperlukan.
Masalah Dalam Peresepan Obat
Beberapa masalah yang sering timbul dalam peresepan obat pada lansia adalah sebagai berikut :

I. Farmakokinetik,
Yang meliputi penyerapan, distribusi, metabolisme dan pengeluaran obat.

* Penyerapan obat : beberapa hal yang menghambat penyerapan obat pada lansia adalah berkurangnya permukaan lapisan atas usus, berkurangnya gerakan dan aliran darah saluran cerna, berkurangnya keasaman lambung, dan penyakit-penyakit tertentu. Sebaliknya, akibat berkurangnya gerakan saluran cerna menyebabkan lebih lama obat didapati saluran cerna sehingga absorpsinya lebih banyak. Akibat hal-hal tersebut di atas ma ka penyerapan obat hanya sedikit terganggu.
* Distribusi obat : dipengaruhi oleh jumlah darah yang dipompakan jantung keseluruh tubuh per menit (curah jantung), kelarutan obat dalam air atau lemak dan keterikatan obat dengan protein.
Akibat bertambahnya usia, curah jantung berkurang yang menyebabkan berkurangnya obat yang terikat dengan reseptor yang terdapat di dalam sel.

Demikian juga terjadi perubahan komposisi tubuh (berkurangnya cairan dan bertambahnya lemak tubuh) serta berkurangnya massa otot.
Mengenai kelarutan obat, ada yang larut dalam air dan ada yang larut dalam lemak. Akibat kurangnya cairan tubuh maka obat yang larut dalam air mempunyai volume distribusi yang lebih sedikit, sehingga kadarnya dalam serum meningkat dan takarannya perlu dikurangi.
Sebaliknya, obat yang larut dalam lemak, akibat pertambahan lemak tubuh menyebabkan volume distribusi meningkat, sehingga memperpanjang lamanya obat dalam tubuh. Kadar protein (albumin) yang berkurang pada lansia menyebabkan bertambah sedikit obat yang terikat dengan albumin dan bertambah banyak obat dalam bentuk bebas di dalam serum sehingga efek obat meningkat.
*Metabolisme : berkurangnya kecepatan metabolisme pada lansia karena berkurangnya aliran darah ke hati dan fungsi hepatosit serta enzim hati cytochrome P 450.
*Pengeluaran: berkurangnya fungsi ginjal untuk mengeluarkan obat dari tubuh pada lansia disebabkan berkurangnya fungsi glomerulus dan tubulus. Sebagai akibatnya, obat -obat mempunyai durasi yang lebih lama dan kadarnya lebih tinggi di dalam tubuh, sehingga mudah terjadi efek samping dan toksisitas obat.
II. Farmakodinamik
Perubahan ini berupa gangguan kepekaan target organ terhadap obat yang dikonsumsi pada lansia yang menyebabkan meningkatnya atau berkurangnya efek obat tersebut dibandingkan dengan pada usia yang lebih muda. Hal ini disebabkan gangguan pengikatan obat dengan reseptor dan berkurangnya jumlah reseptor.

III. Masalah-masalah khusus.
Beberapa masalah khusus perlu diperhatikan di dalam meresepkan obat pada lansia, yaitu :

1. Polifarmasi: lansia cenderung mengalami polifarmasi karena penyakitnya yang lebih dari satu jenis (multipatologi), dan diagnosis tidak jelas. Polifarmasi adalah peresepan 5 jenis atau lebih obat, baik obat makan, salep, injeksi, yang digunakan untuk jangka waktu yang lama (480 hari atau lebih dalam 2 tahun).
Adapun lansia yang berisiko tinggi menderita penyakit atau masalah kesehatan sebagai akibat penggunaan obat, yaitu : berusia lebih dari 85 tahun, mendapat 9 jenis atau lebih obat atau lebih 12 dosis obat per hari, menderita 6 jenis atau lebih penyakit kronik yang sedang aktif, terutama gangguan fungsi ginjal. Oleh karena itu, sedapat mungkin hindarilah polifarmasi, khususnya pada yang berisiko tinggi.
2. Takaran obat : akibat perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik pada lansia maka takaran obat perlu diberikan serendah mungkin yang masih mempunyai efek untuk menyembuhkan (S!-½ takaran dewasa yang dianjurkan) dan titrasi secara perlahanlahan setiap 7-14 hari sampai tercapai efek penyembuhan yang optimal (start low, go slow, but use enough ). Jika ingin mengganti atau mengkombinasi dengan obat lain hendaknya dosis maksimal tercapai dulu dan kurangi jenis obat.
3. Efek samping, interaksi, toksisitas obat dan penyakit iatrogenik (penyakit yang disebabkan obat yang digunakan) didapati hubungan positif antara jumlah obat yang digunakan dan usia dengan risiko terjadinya efek samping, interaksi, toksisitas obat dan penyakit iatrogenik.
4. Ketidakpatuhan menggunakan obat menurut aturan pemakaian, memegang peranan untuk timbulnya efek samping obat. Dalam hal ini, sebaiknya digunakan obat dengan satu kali pemberian per hari. Jika terjadi efek samping obat, sebaiknya obat yang menimbulkan efek samping tadi dihentikan dan jangan ditambahkan obat lain untuk mengatasi efek samping tersebut.
Ketidakpatuhan menggunakan obat menurut aturan pemakaian menjadi meningkat dengan bertambah banyaknya jenis obat dan kepikunan.
Peresepan Obat Yang Dianjurkan
Sehubungan dengan berbagai masalah yang telah diuraikan di atas, untuk mengurangi kejadian terhadap masalah-masalah tersebut maka peresepan obat yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
* Gunakan obat seminimal mungkin dan regimen dosis sesederhana mungkin.
* Start low, go slow, but use enough.
* Gunakan obat yang mempunyai efek samping minimal.
* Pengobatan sesuai diagnosis dan hindari pengobatan berdasarkan gejala dan tanda, serta evaluasi kembali obat-obat yang telah diberikan secara berkala.
* Jangan tambahkan obat untuk mengatasi efek samping obat lain yang digunakan.
* Jika ingin mengganti atau mengkombinasi obat untuk suatu diagnosis, hendaknya dosis maksimal tercapai dulu dan kurangi jumlah obat.
* Bentuk sediaan obat yang digunakan yang tepat.
* Etiket/label yang digunakan pada obat yang tepat.
* Keluarga dan pengasuh perlu dilibatkan dalam pemberian obat.
* Biaya obat yang terjangkau, dengan mutu dan keamanan yang terjamin.

 
terendah.
10
Description: http://htmlimg4.scribdassets.com/209z2toxmovd6k2/images/13-1539562dfa.jpg
g. Pengkajian Keseimbangan pada Lansia
      Beri nilai 0 (nol) jika tidak menunjukkan kondisi dibawah ini atau beri nilai 1 (satu) jika klien menunjukkan salah satu kondisi dibawah ini.
      1.  Perubahan posisi atau gerakan keseimbangan
§   Bangun dari kursi
§   Duduk ke kursi
§   Menahan dorongan pada sternum
§   Mata tertutup
§   Perputaran leher
§   Gerakan menggapai sesuatu
§   Membungkuk
      2.  Komponen gaya berjalan atau gerakan
§   Minta klien untuk berjalan ke tempat yang ditentukan
§   Ketinggian langkah kaki
§   Kontinuitas langkah kaki
§   Kesimetrisan langkah
§   Penyimpangan jalur pada saat berjalan
§   Berbalik

                        Intervensi Hasil :
                        0 – 5         : resiko jatuh rendah
                        6 – 10       : resiko jatuh sedang
                        11 – 15     : resiko jatuh tinggi










IMOBILISASI
Description: http://htmlimg4.scribdassets.com/4xngm8wpztyassg/images/2-4d3651acfe/000.jpgDescription: http://html.scribd.com/4xngm8wpztyassg/images/2-4d3651acfe/000.jpg
IMOBILISASI
PENGERTIAN
Mobilisasi tergantung pada interaksi yang terkoordinasi antara fungsi sensorik persepsi,
keterampilan motorik, kondisi fisik, tingkat kognitif, dan kesehatan premorbid, serta variable
eksternal seperti keberadaan sumber – sumber komunitas, dukungan keluarga, adanya
halangan arsitektural ( kondisi lingkungan), dan kebijaksanaan institusional.
FAKTOR RISIKO
Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia
lanjut.
Description: http://htmlimg1.scribdassets.com/4xngm8wpztyassg/images/3-699bf2b63a/000.jpgDescription: http://html.scribd.com/4xngm8wpztyassg/images/3-699bf2b63a/000.jpg
Tabel 1. Penyebab Umum Imobilisasi pada Usia Lanjut
Dekondisi (setelah tirah baring lama metstasis luas pada keganasan)
Malnutrisi
Penyakit sistemik berat (misalnya metastasis luas pada keganasan)
Depresi
Efek samping obat (misalnya kekuatan yang disebabkan obat antipsikotik)
Perjalanan lama yuang menybabkan seseorang tidak bergerak
Lain - lain
Nyeri akut atau kronik
Imobilisasi yang dipaksakan (dirumah sakit atau panti wardha)
Alat bantu mobilitas yang tidak adekuat
Penyebab lingkkungan
Gangguan penglihatan
Takut (instabilitas dan takut akan jatuh)
Faktor sensorik
Penyakit paru obstruksif kronis (berat)
Penyakit paru
Gagal jantung kongensif (berat)
Penyakit jantung koroner (nyeri dada yang sering)
Penyakit vaskular perifer (kardkasio yang sering)
Penyakit kardiovaskular
Strok
Penyakit parkinson
Lain – lain (disfungsi serebelar, neuropati)
Ganguan neurologis
Artritis
Osteoporosis
Faktur (terutama panggul dan femur)
Problem kaki (bunion, kalus)
Lain – lain (misalnya penyakit paget)
Gangguan muskuluskeletal
Description: http://htmlimg2.scribdassets.com/4xngm8wpztyassg/images/4-fffbebe109/000.jpg
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pengkajian geriatri paripurna diperlukan dalam mengevaluasi pasien usia lanjut yang mengalami
imobilisasi, meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, evaluasi status fungsional, status mental, status
kognitif, dan tingkat mobilitas, serta pemeriksaan penunjang sesuai indikasi
Tabel 2. Evaluasi Pasien Usia Lanjut yang Mengalami Imobilisasi
Penilaian berat ringannya kondisi medis penyebab imobilisasi (foto lutut,
ekokardiografi,dll) dan komplikasi akibat imobilsasi (pemeriksaan albumin, elektrolit,
glukosa darah, hemostasis, dll)
Pemeriksaan Penunjang
Mobilitas di tempat tidur, kemampuan transfer, mobilitas di kursi roda, keseimbangan
saat duduk dan berdiri, cara berjalan (gait), nyeri saat bergerak
Tingkat Mobilitas
Antara lain penapisan dengan pemeriksaan mini-mental state examination (MMSE),
abbreviated mental test (AMT)
Status kognitif
Antara lain penapisan dengan pemeriksaan geriatric depression scale (GDS)
Status Mental
Antara lain dengan pemeriksaan indeks aktivitas kehidupan sehari – hari (AKS) Barhel
Status fungsional
Status kardiopolmonal
Kulit
Muskuloskeletal: kekuatan dan tonus otot, lingkup gerak sendi, lesi dan deformitas kaki
Neurologis: kelemahan fokal, evaluasi persepsi dan sensorik
Gastrointertinal
Genitourinarius
Pemeiksaan fisik
• Riwayat dan lama disabilitas/imobilisasi
•Kondisi medis yang merupakan faktor risiko dan penyebab imobilisasi
•Kondisi premorbid
Nyeri
•Obat – obatan yang dikonsumsi
•Dukungan pramuwedha
•Interaksi sosial
•Faktor psikologis
•Faktor lingkungan
Anamnesis
Keterangan
Evaluasi
Description: http://htmlimg4.scribdassets.com/4xngm8wpztyassg/images/5-11b18907f0/000.jpg
TERAPI
Tatalaksana Umum
Kerjasama tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien,keluarga, dan pramuwedha
Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama, pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah ketergantungan pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari – hari sendiri, semampu pasien
Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, dan pembutan rencana terapi yang
mencakup pula perikraan waktu yang diperlukan unutk mencapai target terapi
Temukenali dan tatalaksana infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit yang mungkin terjadi pada
kasus imobilisasi, serta penyakit/kondisi penyetara lainya
Evalusi seluruh obat- obatan yang dikonsumsi; obat – obatan yang dapat menyebabkan kelemahan atau
kelelahan harus diturunkan dosisnya atau dihentikan bila memungkinkan.
Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang mengandung serat, serta suplementasi vitamin
dan mineral
Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis terjadi meliputi latihan mobilitas
ditempat tidur, latihan gerak sendi (pasif, aktif, dan aktif dengan bantuan), latihan penguat otot – otot (isotonik,
isometrik, isokinetik) latihan koordinasi/ keseimbangan, dan ambulasi terbatas.
Bila diperlukan, sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat – alat bantu berdiri dan ambulasi
Manajemen miksi dan defekasi, termasuk penggunaan komod atau toilet
Tatalaksana Khusus
Tatalaksana faktor risiko imobilisasi (lihat tabel1)
Tatalksana komplikasi akibat imobilisasi
Pada keadaan – keadaan khusus, konsultasikan kondisi medik kepada dokter spesialis yang kompeten
Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pada pasien – pasien yang menglami sakit atau dirawat di rumah sakit
dan panti werdha untuk mobilitas yang adekuat bagi usia lanjut yang menglami disabilitas permanen
Description: http://htmlimg3.scribdassets.com/4xngm8wpztyassg/images/6-88d152f412/000.jpg
KOMPLIKASI
imobilisasi dapat menyebabkan proses degerasi yang terjadi pada hampir semua
sistem organ sebagai akibat berubahnya tekanan gravitasi dan berkurangnya fungsi
motorik
PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada penyakit yang mendasari imobilisasi dan komplikasi
yang ditimbulkananya. Perlu dipahami, imobilisasi dapat memberat penyakit
dasarnya bila tidak ditangani sedini mungkin, bahkan dapat sampai menimbulkan
kematian
Description: http://htmlimg2.scribdassets.com/4xngm8wpztyassg/images/7-c43ebe77b9/000.jpg
Tabel 3. Efek Imobilisasi pada Berbagai Sistem Organ
Inkontinensia urin dan alvi, infeksi saluran kemih
pembentukan batu kalsium, penggosokan kandung kemih
yang tidak sempurna dan distensi kandung kemih, impaksi
feses, dan konstipasi, penurunan motilitas usus, refluks
esofagus, aspirasi saluran napas dan peningkatan risiko
perdarahan gastrointestinal
Traktus gastrointestinal dan urinarius
Depresi dan psikosis, atrofi korteks motorik dan sensorik,
ganguan keseimbangan, penurunan fungsi kognitif,
neuromuskular yang tidak efesien
Neurologi dan psikiatri
Keseimbangan nitrogen negatif, hiperkalsiuria, natriuresis dan deplesi natrium, resistensi insulin(intoleransi glukosa) hiperlipidemia, serta penurunan absorpsi dan metabolisme vitamin/mineral
Metabolik dan endrokin
Peningkatan risiko ulkus dekubitus dan maserasi kulit
integumen
Peningkatan denyut nadi istirahat, penurunan perfusi
miokard, intoleran terhadap ortostatik, penurunan ambilan
oksigen maksimal (VO
2 max), deconditioning jantung,
penurunan volume plasma, perubahan uji fungsi paru, atelektasis paru, pneumonia, peningkatan stasis vena, peningkatan agresi trombosit, dan hiperkoagulasi
Kardiopulmonal dan pembuluh darah
Osteoporosis, penurnan massa tulang, hilangnya kekuatan
otot, penurunan area potong lintang otot, kontraktor,
degenerasi rawan sendi, ankilosis, peningkatan tekanan
intraartikular, berkurangnya volume sendi
muskuluskeletal
Perubahan yang Terjadi Akibat Imobilisasi
Organ / Sistem
Description: http://htmlimg3.scribdassets.com/4xngm8wpztyassg/images/8-fbd78ff826/000.jpg
WEWENANG
Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Geriatri, Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik
UNIT YANG MENANGANI
Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Rehabilitasi Medik
UNIT TERKAIT
Divisi geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Devisi Psikiatri – Geriatri Departemen
Psikiatri, Departemen Rehabilitasi Medik, Instalasi Gizi, Instalasi Farmasi, Bidang
Keperawatan
Description: http://htmlimg2.scribdassets.com/4xngm8wpztyassg/images/9-1b5c6276e0/000.jpg
INKONTINENSIA URIN
Description: http://htmlimg1.scribdassets.com/4xngm8wpztyassg/images/10-1d6c303a2e/000.jpg
INKONTINENSIA URIN
PENGERTIAN
•Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak terkendali sehingga menimbulkan
masalah higiene dan sosial. Inkontinensia urin merupakan masalah yang sering
dijumpai pada pasien geriatri dan menimbulkan masalah fisik dan psikososial, seperti
dekubitus, jatuh, depresi, dan isolasi sosial.
•Inkontinensia urin dapat bersifat akut atau persisten. Inkontinensia urin yang akut
dapat diobati bila penyakit atau masalah yang mendasari diatasi seperti infeksi
saluran kemih, ganguan kesadaran, vaginitis atrofik, obat – obatan, masalah
psikologik, skibala. Inkontinensia urin yang persisten biasanya dapat pula dikurangi
dengan berbagai modalitas terapi

DIAGNOSIS
untuk menegakan diagnosis perllu diketahui penyebab dan tipe inkontinensia urin. Terdapat 2
masalah dalam sistem saluran kemih yang dapat memberikan gambaran inkontinensia urin yakin
masalah saat pengosongan kandung kemih dan masalah saat pengisian kandung kemih.
Untuk inkontinensia urin yang akut, pelu diobati penyakit atau masalah yang mendasari, seperti
infeksi saluran kemih, obat – obatan, gangguan kesadaran, skibala, prolaps uteri. Biasanya,
pada inkontinensia urin yang akut, dengan mengatasi penyebabnya, inkoninensia juga akan
teratasi.
Inkontinensia urin yang kronik, dapat dibedakan atas beberapa jenis: inkontinensia tipe urgensi
atau overactive bladder, inkontinensia tipe stres, dan inkontinensia urin tipe overflow.
Inkontinensia urin tipe urgensi dicirikan oleh gejala adanya sering berkemih (frekuensi lebih
dari 8 kali), keinginan berkemih yang tidak tertahankan (urgensi), sering berkemih di malam hari, dan keluarnya urin yang tidak terkendali yang didahului oleh keinginan berkemih yang tidak tertahankan.
Inkontinensia tipr sters dicirikan oleh keluarnya urin yang tidak terkendali pada saat tekanan
intraabdomen meningkat seperti bersin, batuk, dan tertawa.
Inkontinensia urin tipe overflow dicirikan oleh menggelembungna kandung kemih melebihi
volume yang seharusnya dimiliki kandung kemih, post-void resdu (PVR)>100 cc








. Menurut Siti Setiati dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, dari 179 orang usia lanjut di poliklinik Geriatri RSCM tahun 2003, didapatkan angka kejadian inkontinensia urin stres pada laki-laki sebesar 20,5% dan pada perempuan sebesar 32,5%.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar